Daripada Nyesel di Depan, Dukung Keahlian Anak Sejak Dini

Gue selalu bercita-cita untuk tidur tepat waktu, dan bangun tepat waktu juga. Tapi cita-cita gue selalu menjadi imajinasi kosong karena gue yang selalu insomnia. Termasuk sekarang. Dipake ngerjain order terlalu ngantuk, tapi dipake tidur masih belum ngantuk bener.

Gue banyak maunya.

Jadi di jam insomnia gue ini, gue mau mengetik hal yang selama ini mengganggu pikiran gue namun belum sempet juga gue tulis. Postingan kali ini mungkin bakal agak bijak. Berbeda dari postingan-postingan gue sebelumnya yang galau mulu.

Jadi gini...

Ini pesen gue buat elo pada... yang nggak sengaja baca post ini...

Siapapun lo, apapun suku lo, darimanapun lo berasal, ingat pesan gue ini bro! Kalau suatu hari nanti lo udah nikah, dan lo kemudian punya anak, jangan pernah sekalipun lo nolak bidang pendidikan yang direquest sama anak lo, kecuali lo mau lihat anak lo kelauntang-lantung menyesal seumur hidupnya.

Jadi, jika suatu hari nanti anak lo yang mulai beranjak remaja, ngomong sama lo pengen kuliah jurusan seni budaya, udah lo turutin aja! Nggak usah lo mikir nih anak sekolah seni mau jadi apa? Nih anak nggambar pas sekolah buat apa?


Buang pikiran kaku kayak gitu bro! Lo pikir warisan seni budaya Indonesia, museum seni, pagelaran-pagelaran seni, nggak punya tokoh seni ternama?

Termasuk ketika anak lo mendalami pencak silat. Udah lo dukung aja terus. Siapa yang menduga tuh anak bakalan jadi ahli pencak silat ternama di Indonesia? Siapa yang bisa kira?

Coba lo bayangin apa jadinya kalo bapaknya Afgan ngelarang Afgan buat nyanyi? Dan nyuruh dia jadi insinyur?

Apa jadinya kalo bapaknya Chrish John ngelarang Chris John buat jadi petinju? Dan nyuruh Chrish John jadi penyanyi?

Anak bukan boneka bro. Ketimbang anak lo keluntang-lantung kayak gue sekarang.

Iya kayak gue sekarang. Gue benar-benar kehilangan arah selepas gue lulus dari Jurusan Pendidikan Geografi di salah satu universitas negeri ternama di Surabaya.

Sejak kecil gue suka gambar. Gue suka desain, lukis, dan segala hal yang berhubungan dengan seni. Gue bakal rela semalaman nggak tidur demi bergelut dengan cat dan kuas. Gue rela semalaman nggak tidur demi mengerjakan tugas prakrya seni di SMA. Karena ketika gue bisa membuat karya yang bagus dan membuat guru dan teman-teman gue tercengan, gue bangga.

Kesukaan gue pada desain juga gue geluti di dunia digital. Gue suka berjam-jam ngabisin uang di rentalan komputer demi belajar corel draw dan photoshop secara otodidak. Gue cari tutorial-tutorial di google. Gue ikuti step by step nya, kemudian gue praktekin.

Hingga kemudian gue lulus SMA dan mulai memilih-milih jurusan kuliah, gue stuck pada satu hal. Gue akan kuliah jurusan desain grafis. Waktu itu gue udah fix akan mendaftar di ITS. Formulir tinggal di isi, gue juga udah stalk kampusnya. Itu jurusan baru buka, jadi gue rasa grade-nya masih luas.

Malam hari gue ngomong keinginan gue ini ke orang tua dan kakak gue. kita berempat duduk jadi satu di ruang tamu. di depan gue mereka say yes aja. Nothing’s problem. Keputusan di tangan gue dan mereka akan support apapun cita-cita gue. Fix, keinginnan untuk kuliah jurusan desain semakin terang benderang.

Tapi besok paginya, Bapak gue yang woles aja say yes yes mulu di depan gue, ternyata menyimpang unek-unek di hatinya. Dan beliau curhatnya ke nyokap doank. Bilangnya gini, “Sekolah kok gambar...”

Udah 4 tahun berlalu, dan gue benar-benar ingat kalimat itu sampe sekarang! Gue yang semula merasa bahwa jalan gue akan mulus, langsung down. Semangat gue buat kuliah di desian grafis langsung surut. Sekarang bayangain aja, Itu bapak gue, yang ntar bakalan menanggung biaya hidup gue semasa kuliah, udah nggak ikhlas gitu lihat gue kuliah desain. Bakalan berabe di tengah. Gimana jadinya kalo tiba-tiba bapak gue bilang, “Bapak kan udah bilang, ngapain dulu kuliah desain?!”

Gue takut banget. Makanya. Gue langsung ubah jalur. Gue buang jauh-jauh keinginan gue untuk kuliah desain, dan gue memilih jurusan pendidikan Geografi sesuai dengan keinginan bapak-ibu gue yang pengen gue jadi guru. Ngajar di sekolah-sekolah. Karena mereka menganggap gue ini cewek, jadi engga perlu nyari kerjaaan yang engga-engga, jadi guru pasti pas buat gue.

Oke. Skip. Sampe sini dulu. Gue kebanyakan flash back ke belakang jadi baper.

Intinya yang terjadi sekarang, gue kayak gado-gado. Gue lulusan jurusan pendidikan geografi dari Universitas Negeri Surabaya, kaga mau jadi guru karena menurut gue guru itu mentok2 jadi PNS dan bayarannya UMR, semuanya harus diawali dari guru honorer yang itu kecil banget gajinya, sementara gue mengharapkan gaji besar. Lulus dari kuliah gue membuka usaha jasa desain online, sambil ngelamar-ngelamar kerja ke perusahaan-perusahaan, tanpa modal apapun.

Modal ijazah sarjana pendidikan, gue selalu dapat balasan tatapan mata freak dari HRD, pandangan mata penuh tanya, “Nih Anak kuliah jurusan geografi, apa hubungannya sama perusahaan gue?”

Ngelamar di perusahaan posisi designer produk, atau apapun itu yang berhubungan dengan desain, gue engga punya modal ijazah sarjana lulusan desain. Gue selalu minder di awal. Gimana cara gue meyakinkan mereka kalo gue bisa desain? Karena gue engga punya bukti apapun. Gue mempelajari itu semua otodidak. Well ada perusahaan yang tidak membutuh sarjana S1 desain. Yang SMA SMK aja gapapa. Berarti kuliah gue selama ini mubadzir. Ujung-ujungnya gue kerja di desain yang itu juga lowongan untuk anak SMA.

Gue dilema.

Suatu kali gue mendapat tawaran untuk mengajar di SMA, gue terpaksa menolaknya karena respon keluarga gue yang gak sreg mendengar gajinya Cuma segitu. Ya iya lah plis... dimana-mana guru honorer ya segitu.

Tau lah!

Mau kerja di perusahaan posisi staf-staf biasa aja, gue masih kalah sama anak lulusan ekonomi. Mau ngelamar divisi HRD, gue kalah sama lulusan psikolog, mau ngelamar jadi guru, gajinya bikin keluarga gue engga sreg, mau ngelamar desain, gue dianggap kalah sama lulusan desain meskipun gue udah ahli.

Pernah kemaren gue ketrima jadi Sales di PT MNC Sky Vision. Udah ikut training dan test nya juga. Dari 180 orang terpilih 10 orang. Dan itu salah satunya adalah gue. Tapi gue lepas gitu aja. Karena gue engga suka dengan kerjaan sales yang harus nyari pelanggan. Tambah lagi itu kita engga digaji, Cuma dapat bantuan operasional sales doank. Gue selalu menyayangkan title sarjana pendidikan yang udah gue peroleh. Mending gue ngajar dengan gaji kecil seenggaknya ilmu gue berguna, daripada gue jadi Sales.

Gue selalu berpikir, gimana kalo gue pulang dari surabaya. Gue akan stay di daerah kampung halaman gue aja. Gue ngajar di sana dengan gaji kecil engga apa-apa.Tapi gue selalu kepikiran orang tua gue. kita hidup dengan ekonomii yang serba pas pasan. Makanya gue selalu pengen kerja di perusahaan dengan gaji yang besar. Tapi dengan modal ijazah yang engga sesuai dengan bidang yang akan gue masuki, gue bisa apa?

Sampai di sini, gue selalu menyesali masa lalu. Gue selalu menyayangkan kenapa Bapak gue dulu bilang gitu. Seharusnya engga gue turuti dan gue tetep kuliah desain. Sering gue berpikir begitu. Tapi buat apa? Menyesali masa lalu nggak akan mengubah apapun. Sekarang gue nggak bisa berbuat banyak. Selain terus melamar, dengan mengandalkan keterampilan desain yang gue punya tanpa sertifikat appaun dan ijazah apapun. Gue S1, tapi S1 pendidikan., dan gue pengen ngelamar di desain.

Kalo bapak dan ibu gue ditanya, selalu mah bilangnya iya terserah kamu engga apa-apa. Keputusan ada di tangan adek.

Tapi ujung-ujungnya, ada aja yang mereka batinkan.


Melihat kondisi gue sekarang, gue benar-benar paham apa manfaatnya mensupport apapun bidang keilmuan yang pengen ditekuni anak. Selama anak lo nggak minta pengen menekuni pembuatan sabu-sabu nggak masalah. Toh menekuni desain itu bukan kriminal, menekuni sepak bola itu tidak apa-apa, menekuni tulis menulis itu it’s fine. Jangan tanyakan apa yang bisa mereka dapatkan dengan ilmu mereka. Ingat bro, menjadi ahli itu akan membuat anak lo dikenal banyak orang. Buat dia ahli di bidang yang dia pengen, daripada dia jadi kacung di bidang yang engga jelas karena intervensi lo yang terlaluan.

Comments