ALICE THROUGH THE LOOKING GLASS [2016]

“Alice Through The Looking Glass” adalah tipikal film yang hanya dibutuhkan ketika sedang penat akan aktivitas harian. Saya cukup lelah dengan pekerjaan yang menyita tidur siang saya. Ditambah lagi harus memperdalam Bahasa Inggris sebagai pengisi waktu. Bisa dibayangkan seberapa lelahnya saya tiap hari. Syukurlah, film besutan James Bobin dengan naskah dari Linda Woolverton ini cukup untuk mengusir lelah. Tapi, hal itu tidak lantas menjamin bahwa film ini disebut bagus.

Petualangan Alice Kingsleigh berlanjut setelah di “Alice in Wonderland” (2010). Perlukah untuk menonton film sebelumnya agar dapat mengikuti plot sekuelnya? Saya rasa tidak perlu. Bahkan saya sendiri sudah lupa dengan alur dari prekuelnya. Sebab saya sendiri juga tidak peduli.
Singkat cerita, Alice (Mia Wasikowska) memiliki masalah yang berhubungan dengan rumah dan kapal peninggalan ayahnya. Alice menganggap bahwa sang ibu telah menjual ‘harta karun’ berharga tersebut. Lanjut saya, Alice bertemu dengan Absolem (Alan Rickman—penampilan terakhirnya sebelum meninggal) dan menuntunnya menuju ke wonderland.

Di sana telah berkumpul White Queen (Anne Hathaway), Tweedledum & Tweedledee (Matt Lucas), Cheshire Cat (Stephen Fry), dan masih banyak lagi. Mereka memberitahukan Alice bahwa ada hal buruk tengah menimpa Tarrant Hightopp, si Mad Hatter (Johnny Depp). Wajahnya semakin pucat, warna rambutnya memudar, dan menjadi lebih ‘gila’ dari sebelumnya.

Misi Alice kini adalah menemukan penyebab dan mengembalikan Mad Hatter seperti semula. Tapi bagaimana? Pergilah Alice ke markas Sang Waktu—dipanggil Time (Sacha Baron Cohen), untuk mendapatkan alat bernama “Chronosphere” dan kembali ke masa lalu. Silakan Anda berharap jika Red Queen (Helena Bonham Carter) ada di balik ini.

“Alice Through...” memiliki template basi dari kebanyakan film bertema time travel. Seperti; membenahi masa lalu demi masa depan yang lebih baik atau jangan sampai bertemu dengan diri sendiri di masa lalu. Naskah Linda Woolverton nyaris tidak ada pengembangan sama sekali dari novel aslinya yang ditulis Lewis Caroll. Ya, saya tahu ini dari buku klasik terkenal. Namun zaman sudah berbeda. Kisah tentang Alice memang sangat menakjubkan. Sebagai karya besar, namanya tidak terlupakan hingga kini. Sayangnya untuk adaptasi film, “Alice Through...” membutuhkan penanganan lebih baik.
Bagian yang paling menyebalkan dari “Alice Through...” adalah nyaris tidak adanya dampak apa pun yang saya rasakan sebagai penonton. Film ini datar dan ‘pucat’ di sepanjang durasi. Ngantuk, sudah pasti. Dan lagi, saya tidak merasakan emosi apa pun selama menontonnya. Entah itu sedih, kehangatan, tertawa, tegang, dan lainnya.

Satu hal yang bisa saya petik dari film ini adalah mengenai waktu. “Waktu tidak berteman dengan siapa pun,” kata Time pada Alice. Saya sangat setuju. Seburuk-buruknya kualitas film ini, tapi ia masih memberikan saya sedikit pencerahan soal menejemen waktu. Dari sini saya belajar untuk memanfaatkan waktu lebih baik lagi. Setiap detik, menit, dan jam adalah berkah. Di lain pihak, ketiganya bisa menjadi pembunuh yang mengerikan.

Comments