Tanpa James

Sehari tanpa Kakakku?
          Itu akan menjadi sangat brilian!
          James pada dasarnya adalah sangat menyebalkan, menjengkelkan, bahkan ketika melihatnya, itu adalah kesan pertama yang akan kau dapatkan. Aku sangat membencinya. Seluruh keluargaku membencinya.
          Bagaimana tidak? Atas embanannya sebagai seorang Kakak, dia ini termasuk membuat repot. Cucian piringnya tidak pernah becus, selalu membuat becek ketika mengepel, dan debu berterbangan tiap kali dia melayangkan sapu. Entah sudah berapa kali Ibuku menasihati dia agar menjadi lebih baik, sebagai peranannya untuk anak sulung. Tapi percuma saja. Lantai tetap becek tiap dia mengepel. Sudah kubilang, dia memang merepotkan.
          James berusia delapan belas, tiga tahun diatasku. Dia sebetulnya normal saja, namun bagiku sangat sulit diatur, sampai-sampai seperti orang berkebelakangan mental. Seperti anak yang berandal. Tidak juga sih sebetulnya. Dia biasa mencuci piring ketika siang, mengepel dan menyapu saat sore, menjemur pakaian sebelum berangkat sekolah dan rajin membersihkan debu di lemari tiap dua minggu sekali.
          Tapi seluruh kegiatannya itu tak dilakukannya dengan benar. Saat itu Ibuku biasa saja ketika mengetahui pekerjaan rumah tangganya berantakan. Namun makin dewasa, dia sudah tidak tahan. Harusnya James punya kemajuan sedikit saja saat membereskan rumah, tapi tidak sama sekali. Bahkan Ibuku juga kelihatan membencinya.
          Ah, aku tidak pernah habis pikir.
          “Maklum, Ibu, anak laki-laki.” Kata tetangga ketika Ibu mengeluhkan betapa sulitnya hidup sebagai ibu James.
          Tetanggaku sampai heran, mengapa James begitu dibenci, padahal dia kan tidak salah apa-apa. Untuk ukuran cowok remaja, dia bahkan kelewat rajin. Remaja yang lain biasanya kebanyakan pergi ke bar, merokok, dan hal-hal buruk lainnya. Tapi itu, aku tidak memikirkan James pernah melakukannya atau tidak.
          Kekacauan yang pernah ditimbulkan Kakakku itu, yang paling parah dan terakhir adalah, ketika membuat tulangku patah. Sebetulnya itu kesalahanku juga, namun aku seperti tidak sudi mengatakan bahwa aku yang salah. James mengepel kamarku, namun dia malah membuat sebuah genangan air. Membuatku terpeleset ketika kembali dari sekolah dan hendak beristirahat. Aku benci James. Ibuku membencinya, dan Ayahku, hanya dia yang membela James.
          “Dipel tiap sore! Tidakkah kalian pernah memikirkannya? James, bahkan lebih rajin dari kau, Anita!” gerung Ayah, sambil menunjukku. Tidak terima James diperlakukan begitu.
          Sama! Aku juga tidak terima.
          “Dia harus diberi penyuluhan tentang cara mengepel! Atau bergabung dengan komunitas para cleaning service, agar dia tahu betul kesalahannya saat mengepel!” teriakku.
          Sebuah tamparan sukses mendarat di pipiku,  dan Ayah, wajahnya memerah karena kemarahan luar biasa. Semenjak saat itu, hubungan aku dan Ayahku semakin mendingin. Ibu sama sekali tidak berpikir akan mendekatkan aku dan Ayah. Ibuku juga punya hubungan yang tak terlalu baik dengannya.
          Hingga detik ini, baru kulihat pertama kalinya James memberontak. Dia berteriak, menjerit di depan Ibuku, melempar sesuatu yang bisa dilemparnya. James marah. Dan jelas James menangis, bahkan dia berteriak histeris sekali. Aku Cuma menonton dan seolah James memberontak ini adalah hal yang biasa.
          “Baik, kalau seperti itu, aku tidak pernah dianggap kan?” teriaknya, marah. “Aku mencuci piring tiap siang, tanpa diperintahkan, tapi kalian malah menganggap cucianku tidak pernah becus? BAIK, AKU PERGI!”
          “Pergilah!” teriak Ibuku. “Bawa juga Ayahmu! Aku muak melihat kalian berdua, para laki-laki!”
          James membawa tasnya. Aku tidak peduli dia membawa bekal untuk kabur atau tidak. Tapi sore itu, aku merasa senang sekali. James pergi dari rumah. Ini suatu kesempatan yang langka. Sehari di rumah tanpa James? Itu sangat brilian.
          Awalnya Ibuku biasa saja, malah kelihatan sama senangnya sepertiku. Dia bersenandung, dan bahan makanan kami menjadi lebih irit. Kenapa? Karena hanya ada aku dan Ibuku di rumah ini. Ayahku ikut pergi bersama James. Ah, biarkan saja mereka berdua.
          Aku menikmati seminggu yang penuh bahagia. Tanpa James sedikitpun. Tanpa genangan air, tanpa piring yang masih kotor, atau debu yang melayang.
          Tapi dua minggu kemudian, Ibuku mulai mengeluh tentang betapa banyak piring yang harus dicuci, banyaknya petak lantai yang harus dipel dan disapu, dan juga banyaknya lembar kain yang harus dia cuci.
          “Piring! Siapa yang mau mencuci sebanyak ini?”
          “James,” kataku langsung, reflek mengatakannya.
          “Lantai lantai! Anita, tolong sapukan, Nak?”
          “James!” aku berteriak lagi. “James!”
          Kemudian, baru aku sadari bahwa James tidak ada di rumah.
          Minggu ketiga, Ibuku terisak di kamarnya, dengan foto kecil James di tangannya. Aku ingin menepis foto James kecil yang menyebalkan, namun Ibuku malah menariknya dariku.
          “James!” isak Ibuku.
          Ibuku, aku tidak tahu dari dalam hati dia mencintai James atau tidak. Tapi detik itu aku tahu, James diminta kembali untuk menyelesaikan tugas cuci, pel, sapu dan jemur yang tak harusnya dilakukannya lagi. Apa harga dirinya hanya untuk tugas rumah tangga?
          Aku benci James.

Comments