Yang namanya dunia fiksi itu tidak akan ada habisnya, ya namanya juga terbit dari imajinasi yang selalu baru dan terasah. Tiap tahun, pasti ada aja rentetan baru penulis-penulis dengan karya ide yang segar pula. Tapi gue agak jengah dengan ide penulis zaman sekarang, yaitu tentang kisah cinta (padahal gue tiap hari nulis cerita cinta, hih -_-). Memang sih ceritanya banyak yang bagus dan nggak pasaran kayak FTV, tapi kebanyakan kisah cinta gak ngasih gue kesan 'wow' yang mendalam. Paling mentok cuma, "ah begini endingnya. Udah ketebak. Bikin twist napa". Kecuali cerita karya Dee itu baru bisa gue aplaus, dan gue yakin masih banyak ratusan penulis lain dengan romansa 'wow' kayak Dee, tapi belom ketemu sama gue aja.
Romansa, atau kasih sayang, atau cinta, ga selalu harus dihubungkan dengan hubungan antara cewek dan cowok yang kemudian menjalin asmara. Keluarga dan persahabatan bisa menjadi tema yang favorit, dan untuk tema keluarga, ada satu penulis favorit gue yang apik banget menuliskannya, dan menjadi panutan gue dalam menulis fiksi yang lain.
Untuk fiksi bertema keluarga siapa lagi kalau bukan Tere-Liye?
Novel tentang family-nya begitu fenomenal. Dia juga menyelipkan banyak nilai religi Islam dari novelnya itu. Contohnya Hafalan Shalat Delisa, yang menjadi novel pertama dia yang gue koleksi. Di novel itu Om Tere bukan cuma menampilkan sisi keluarga yang erat, tapi juga sisi keagamaan yang sudah terlihat jelas dari judulnya. Novel itu juga membuat motivasi besar---tentang bagaimana kukuhnya iman seorang anak berusia enam tahun, dan membuat gue sempat malu ketika membacanya. Bagaimana dengan gue? Apakah imannya sudah sekuat Delisa?
Selain Hafalan Shalat Delisa, berbagai novel bertema keluarga lainnya yang juga jadi favorit adalah Bidadari-Bidadari Surga. Novel itu sukses bikin nangis banjir, dan sosok Kak Laisa harusnya bisa menjadi panutan gue, sebagai anak sulung. Yah, sebagai anak perempuan sulung, gue merasa menyatu aja sama figur Kak Laisa di novel itu. Walaupun bacanya gue cuma minjem tapi novel itu memberikan banyaaaak nilai moral. Tere-Liye emang apik buat menunjukkan cerita yang bermutu dengan segudang pesan moral di dalamnya. Ah, i love it.
Novel tema politik pun juga digandrung Om Tere, dari novel Negeri Para Bedebah dan Negeri Diujung Tanduk (walaupun belum baca novelnya sih, cuma lihat dari review aja). Ada juga novel romantis yang juga bikin lo bakal nge-fly sendiri saat membacanya. Contoh novel romance Tere-Liye adalah Berjuta Rasanya dan Sepotong Hati Yang Baru. Masih banyak novel super bagus lain hasil karyanya, yang bisa jadi list buat bacaan, dan bisa dilihat disini.
Dan gue mau membahasa novel lagi karya Tere-Liye, yang, ah, kental banget nilai keluarga, agama dan moralnya. Novel ini berbentuk serial, dan dinamai Seri Anak-Anak Mamak.
Anak-Anak Mamak adalah serial novel karya Tere-Liye yang menceritakan tentang empat anak pasangan Mak Nur dan Pak Syahdan dengan masa kecil mereka yang indah dan penuh nilai. Mereka hidup di tengah kebersamaan kampung terpencil Sumatra, namun dengan kisah yang indah (dan bahkan sempat membuat gue iri dengan masa kecil mereka). Sumpah ya, serial ini kayak keluarga gue masa HAHAHA. Yep, ceritanya adalah dua anak perempuan sebagai si sulung dan bungsu, dua anak laki-laki sebagai anak kedua dan ketiga.
Anak pertama adalah Eliana, terkenal sebagai si pemberani. Yang kedua adalah Pukat, yang terkenal pandai dengan otak encernya. Yang ketiga ialah Burlian, si bandel dengan segala sikap berontaknya, namun ia terkenal sebagai anak yang spesial bagi Mamak dan Bapaknya. Dan si bungsu adalah Amelia, gadis yang terkenal sakit-sakitan.
Tapi untuk kali ini gue mau mereview si Burlian dulu, si anak ketiga.
Well, urutan serial buku ini membingungkan sebetulnya. Kalau lo ke toko buku dan menemukan tumpukan empat buku serial Anak-Anak Mamak ini, lo akan bingung mencari yang mana buku pertama, kedua, dan ketiga. Tidak ada clue-nya. Beda kan sama Harry Potter, di bagian samping kan bisa dikasih tau 'tahun 1' atau 'tahun 2' jadi ga bingung.
Dan juga, Om Tere juga bikin pusing dalam menerbitkannya. Amelia, buku pertama, memang buku ke satu, namun malah diterbitkan paling terakhir. Burlian, buku ketiga, justru menurut gue yang paling pertama diterbitkan. Aneh banget pokoknya. Kenapa nggak sesuai urutannya aja sih?-_-
Buku pertama yang gue beli adalah Burlian. Sebetulnya novel ini novel yang terbilang cukup lama, dan gue aja beli yang cetakan ke berapa, entah. Yang jelas empat seri ini best seller. Ditilik dari cover lama, cover cetakan terbaru 2014 lebih menarik. Kalau cetakan pertama Burlian covernya bergambar seorang anak di padang rumput dengan langit biru, bersama seekor rusa gemuk di sebelahnya, dan awan tipis di langit membentuk sebuah kapal besar, cover 2014 lain lagi. Cover 2014 menggambarkan suasana ketika Burlian ikut lomba maraton dan menyelip lewat hutan, ada di bagian akhir cerita.
Burlian diceritakan selalu dikatakan "spesial" oleh Mamak dan Bapaknya. Dan hal itu kelak yang menjadi pegangan sekaligus motivasi bagi Burlian tiap kali ia terbentur masalah.
Ceritanya sederhana sekali, khas Tere-Liye yang menunjukkan nilai lain dari sebuah kampung terpencil yang tampak tidak ada artinya. Burlian terlahir dari Pak Syahdan dan Mak Nur yang tidak tamat Sekolah Rakyat, alias SD. Sehingga pantas saja Burlian diberikan pendidikan tinggi agar kelak tidak seperti Mamak dan Bapaknya, tidak peduli pendidikan yang sangat seadanya.
Burlian terdiri dari 25 episode cerita. Dan tokoh favorit gue disini banyak sekali. Yang paling menyentuh ialah ketika Munjib, teman Burlian, rela tangannya terkena luka bakar karena tekadnya bersekolah. Pada bab itu mengajarkan untuk menyadari betapa pentingnya pendidikan untuk kita. Cerita itu dirangkum dalam dua bagian Jangan Pernah Berhenti Percaya.
Diceritakan Munjib dilarang Bapaknya sekolah karena ketergantungan biaya. Munjib sebetulnya punya tekad super kuat dalam hatinya untuk tetap sekolah. Pak Bin, guru mereka yang sudah mengabdi sendirian di sekolah selama berpuluhan tahun, bersama teman sekelas lain, mengusulkan ide cerdik untuk memancing Munjib. Mulai dari didatangi Bapaknya dan bermusyawarah, sampai diam-diam dipinjamkan buku dari perpustakaan. Munjib dipinjami sebuah buku cerita---Monte Cristo, oleh Pak Bin. Selama beberapa saat Munjib sembunyi-sembunyi membacanya, sampai akhirnya ketahuanlah oleh sang Bapak buku itu disimpan di kolong tempat tidur. Bapak Munjib membakar buku itu, dan Munjib berusaha menyelamatkan buku tersebut dan malah luka bakar di tangan yang dia terima. Sebaliknya, buku itu tak terselamatkan sama sekali. Pokoknya bagian Jangan Pernah Berhenti Percaya ini memang menohok hati tanpa diminta.
Bagian lain adalah Nakamura-san. Nakamura diceritakan adalah pemimpin dari suatu proyek terusan di pulau Sumatra. Dia adalah bapak-bapak yang berteman baik dengan Burlian. Dan suatu ketika dia menceritakan tentang anaknya Keiko, yang marah dan tak pernah lagi berkirim surat ketika tahu Nakamura mengerjakan proyek terusan itu. Burlian, yang tergugah, kemudian mengirim surat agar Keiko mau menghubungi Ayahnya lagi. Quotes favorit Nakamura...
Untuk di keluarganya, Burlian termasuk anak yang beruntung. Berbeda dengan Pukat dan Eliana yang melanjutkan SMP di kota kabupaten, Burlian justru melanjutkan SMP di asrama Jakarta, atas ajakan Nakamura-san. Di akhir cerita, diceritakan Burlian akhirnya bertemu dengan Keiko yang sudah bersahabat pena dengannya, di Tokyo, dan bertemu kembali dengan Nakamura-san.
Di novel ini, gue wajib menceritakan satu tokoh. Yaitu Pak Bin. Ah, dia ini figur guru. Pak Bin adalah seorang guru honorer di sekolah Burlian. Dibanding guru lain, pengabdian Pak Bin jauh lebih membekas. Dia tidak pernah diupah banyak, biasanya pakai upah kayak beras atau ubi. Pak Bin pun selain mengajar juga harus berkebun untuk memenuhi kebutuhannya. Harapannya cuma satu, yaitu diangkat menjadi PNS. Tapi harapan itu tak pernah terwujud, padahal dilihat dari segi perjuangan, Pak Bin patut diberi penghargaan yang tinggi.
Namun dunia memang sudah tidak adil saat itu. Panitia pengangkatan jelas tidak menerima Pak Bin karena satu hal; uang. Pak Bin, yang menjunjung tinggi kejujuran, sekaligus tidak punya biaya untuk menyuap, jelas sedih dan berputus asa akan hal itu. Meskipun ia sudah berkali-kali mendaftar, namun masalahnya jelas hanya di uang. Dia bahkan hampir mau berhenti mengajar, namun karena kemarahan Munjib, akhirnya, ia mengajar kembali. Gue bahkan nangis waktu tahu untuk kesekian kalinya tes pengangkatan Pak Bin gagal, gak tau kenapa, kebawa cerita kali, hehe.
Di epilog dijelaskan, Pak Bin berhasil mendapat penghargaan dari pemerintah berkat jasa Burlian. Burlian ketika itu meminta para wartawan TV agar Pak Bin diangkat jadi PNS, dan berita itu menyebar cepat sampai ke presiden.
Pelajaran yang bisa dipetik:
Untuk yang 'haus' dengan novel tema keluarga, dan penuh pesan moral tanpa perlu menggurui, novel ini jawabannya.
Romansa, atau kasih sayang, atau cinta, ga selalu harus dihubungkan dengan hubungan antara cewek dan cowok yang kemudian menjalin asmara. Keluarga dan persahabatan bisa menjadi tema yang favorit, dan untuk tema keluarga, ada satu penulis favorit gue yang apik banget menuliskannya, dan menjadi panutan gue dalam menulis fiksi yang lain.
Untuk fiksi bertema keluarga siapa lagi kalau bukan Tere-Liye?
Novel tentang family-nya begitu fenomenal. Dia juga menyelipkan banyak nilai religi Islam dari novelnya itu. Contohnya Hafalan Shalat Delisa, yang menjadi novel pertama dia yang gue koleksi. Di novel itu Om Tere bukan cuma menampilkan sisi keluarga yang erat, tapi juga sisi keagamaan yang sudah terlihat jelas dari judulnya. Novel itu juga membuat motivasi besar---tentang bagaimana kukuhnya iman seorang anak berusia enam tahun, dan membuat gue sempat malu ketika membacanya. Bagaimana dengan gue? Apakah imannya sudah sekuat Delisa?
Selain Hafalan Shalat Delisa, berbagai novel bertema keluarga lainnya yang juga jadi favorit adalah Bidadari-Bidadari Surga. Novel itu sukses bikin nangis banjir, dan sosok Kak Laisa harusnya bisa menjadi panutan gue, sebagai anak sulung. Yah, sebagai anak perempuan sulung, gue merasa menyatu aja sama figur Kak Laisa di novel itu. Walaupun bacanya gue cuma minjem tapi novel itu memberikan banyaaaak nilai moral. Tere-Liye emang apik buat menunjukkan cerita yang bermutu dengan segudang pesan moral di dalamnya. Ah, i love it.
Novel tema politik pun juga digandrung Om Tere, dari novel Negeri Para Bedebah dan Negeri Diujung Tanduk (walaupun belum baca novelnya sih, cuma lihat dari review aja). Ada juga novel romantis yang juga bikin lo bakal nge-fly sendiri saat membacanya. Contoh novel romance Tere-Liye adalah Berjuta Rasanya dan Sepotong Hati Yang Baru. Masih banyak novel super bagus lain hasil karyanya, yang bisa jadi list buat bacaan, dan bisa dilihat disini.
Dan gue mau membahasa novel lagi karya Tere-Liye, yang, ah, kental banget nilai keluarga, agama dan moralnya. Novel ini berbentuk serial, dan dinamai Seri Anak-Anak Mamak.
Anak-Anak Mamak adalah serial novel karya Tere-Liye yang menceritakan tentang empat anak pasangan Mak Nur dan Pak Syahdan dengan masa kecil mereka yang indah dan penuh nilai. Mereka hidup di tengah kebersamaan kampung terpencil Sumatra, namun dengan kisah yang indah (dan bahkan sempat membuat gue iri dengan masa kecil mereka). Sumpah ya, serial ini kayak keluarga gue masa HAHAHA. Yep, ceritanya adalah dua anak perempuan sebagai si sulung dan bungsu, dua anak laki-laki sebagai anak kedua dan ketiga.
Anak pertama adalah Eliana, terkenal sebagai si pemberani. Yang kedua adalah Pukat, yang terkenal pandai dengan otak encernya. Yang ketiga ialah Burlian, si bandel dengan segala sikap berontaknya, namun ia terkenal sebagai anak yang spesial bagi Mamak dan Bapaknya. Dan si bungsu adalah Amelia, gadis yang terkenal sakit-sakitan.
Tapi untuk kali ini gue mau mereview si Burlian dulu, si anak ketiga.
Well, urutan serial buku ini membingungkan sebetulnya. Kalau lo ke toko buku dan menemukan tumpukan empat buku serial Anak-Anak Mamak ini, lo akan bingung mencari yang mana buku pertama, kedua, dan ketiga. Tidak ada clue-nya. Beda kan sama Harry Potter, di bagian samping kan bisa dikasih tau 'tahun 1' atau 'tahun 2' jadi ga bingung.
Dan juga, Om Tere juga bikin pusing dalam menerbitkannya. Amelia, buku pertama, memang buku ke satu, namun malah diterbitkan paling terakhir. Burlian, buku ketiga, justru menurut gue yang paling pertama diterbitkan. Aneh banget pokoknya. Kenapa nggak sesuai urutannya aja sih?-_-
Buku pertama yang gue beli adalah Burlian. Sebetulnya novel ini novel yang terbilang cukup lama, dan gue aja beli yang cetakan ke berapa, entah. Yang jelas empat seri ini best seller. Ditilik dari cover lama, cover cetakan terbaru 2014 lebih menarik. Kalau cetakan pertama Burlian covernya bergambar seorang anak di padang rumput dengan langit biru, bersama seekor rusa gemuk di sebelahnya, dan awan tipis di langit membentuk sebuah kapal besar, cover 2014 lain lagi. Cover 2014 menggambarkan suasana ketika Burlian ikut lomba maraton dan menyelip lewat hutan, ada di bagian akhir cerita.
Burlian diceritakan selalu dikatakan "spesial" oleh Mamak dan Bapaknya. Dan hal itu kelak yang menjadi pegangan sekaligus motivasi bagi Burlian tiap kali ia terbentur masalah.
Ceritanya sederhana sekali, khas Tere-Liye yang menunjukkan nilai lain dari sebuah kampung terpencil yang tampak tidak ada artinya. Burlian terlahir dari Pak Syahdan dan Mak Nur yang tidak tamat Sekolah Rakyat, alias SD. Sehingga pantas saja Burlian diberikan pendidikan tinggi agar kelak tidak seperti Mamak dan Bapaknya, tidak peduli pendidikan yang sangat seadanya.
Burlian terdiri dari 25 episode cerita. Dan tokoh favorit gue disini banyak sekali. Yang paling menyentuh ialah ketika Munjib, teman Burlian, rela tangannya terkena luka bakar karena tekadnya bersekolah. Pada bab itu mengajarkan untuk menyadari betapa pentingnya pendidikan untuk kita. Cerita itu dirangkum dalam dua bagian Jangan Pernah Berhenti Percaya.
Diceritakan Munjib dilarang Bapaknya sekolah karena ketergantungan biaya. Munjib sebetulnya punya tekad super kuat dalam hatinya untuk tetap sekolah. Pak Bin, guru mereka yang sudah mengabdi sendirian di sekolah selama berpuluhan tahun, bersama teman sekelas lain, mengusulkan ide cerdik untuk memancing Munjib. Mulai dari didatangi Bapaknya dan bermusyawarah, sampai diam-diam dipinjamkan buku dari perpustakaan. Munjib dipinjami sebuah buku cerita---Monte Cristo, oleh Pak Bin. Selama beberapa saat Munjib sembunyi-sembunyi membacanya, sampai akhirnya ketahuanlah oleh sang Bapak buku itu disimpan di kolong tempat tidur. Bapak Munjib membakar buku itu, dan Munjib berusaha menyelamatkan buku tersebut dan malah luka bakar di tangan yang dia terima. Sebaliknya, buku itu tak terselamatkan sama sekali. Pokoknya bagian Jangan Pernah Berhenti Percaya ini memang menohok hati tanpa diminta.
Bagian lain adalah Nakamura-san. Nakamura diceritakan adalah pemimpin dari suatu proyek terusan di pulau Sumatra. Dia adalah bapak-bapak yang berteman baik dengan Burlian. Dan suatu ketika dia menceritakan tentang anaknya Keiko, yang marah dan tak pernah lagi berkirim surat ketika tahu Nakamura mengerjakan proyek terusan itu. Burlian, yang tergugah, kemudian mengirim surat agar Keiko mau menghubungi Ayahnya lagi. Quotes favorit Nakamura...
Jalan ini tak berujung, Burlian-kun...tak akan pernah. Dari jalan panjang ini kau bisa pergi lebih jauh lagi, menemukan sambungan jalan berikutnya...mengelilingi dunia, melihat seluruh dunia, masa depan anak-anak kampung, masa depan bangsa. Masa depan kau yang penuh kesempatan...
Untuk di keluarganya, Burlian termasuk anak yang beruntung. Berbeda dengan Pukat dan Eliana yang melanjutkan SMP di kota kabupaten, Burlian justru melanjutkan SMP di asrama Jakarta, atas ajakan Nakamura-san. Di akhir cerita, diceritakan Burlian akhirnya bertemu dengan Keiko yang sudah bersahabat pena dengannya, di Tokyo, dan bertemu kembali dengan Nakamura-san.
Di novel ini, gue wajib menceritakan satu tokoh. Yaitu Pak Bin. Ah, dia ini figur guru. Pak Bin adalah seorang guru honorer di sekolah Burlian. Dibanding guru lain, pengabdian Pak Bin jauh lebih membekas. Dia tidak pernah diupah banyak, biasanya pakai upah kayak beras atau ubi. Pak Bin pun selain mengajar juga harus berkebun untuk memenuhi kebutuhannya. Harapannya cuma satu, yaitu diangkat menjadi PNS. Tapi harapan itu tak pernah terwujud, padahal dilihat dari segi perjuangan, Pak Bin patut diberi penghargaan yang tinggi.
Namun dunia memang sudah tidak adil saat itu. Panitia pengangkatan jelas tidak menerima Pak Bin karena satu hal; uang. Pak Bin, yang menjunjung tinggi kejujuran, sekaligus tidak punya biaya untuk menyuap, jelas sedih dan berputus asa akan hal itu. Meskipun ia sudah berkali-kali mendaftar, namun masalahnya jelas hanya di uang. Dia bahkan hampir mau berhenti mengajar, namun karena kemarahan Munjib, akhirnya, ia mengajar kembali. Gue bahkan nangis waktu tahu untuk kesekian kalinya tes pengangkatan Pak Bin gagal, gak tau kenapa, kebawa cerita kali, hehe.
Di epilog dijelaskan, Pak Bin berhasil mendapat penghargaan dari pemerintah berkat jasa Burlian. Burlian ketika itu meminta para wartawan TV agar Pak Bin diangkat jadi PNS, dan berita itu menyebar cepat sampai ke presiden.
Pelajaran yang bisa dipetik:
- Kejujuran itu mahal harganya.
- Jangan pernah berhenti untuk menggapai cita-cita, sesulit apapun, karena kita tidak akan sendirian, akan ada banyak tangan yang membantu di saat masa yang sulit.
- Berani untuk mengambil keputusan dalam hidup.
- Seseorang yang terlihat buruk di luar, belum tentu di dalamnya seperti itu.
- Rela berkorban.
- Harus menuruti perintah orangtua, karena kalau dibantah, nanti nyesel sendiri.
- Jangan pernah membenci pengorbanan seorang Ibu.
- Harus bisa mengerti keadaan keluarga.
- Menjaga keaslian alam yang ada di sekitar. Bukan merusaknya.
- Harus kompak dan membaur dengan siapa saja.
- Jangan pernah menerima harta haram.
- Jangan menghina orang kalau kita sendiri nggak bisa melakukan apa yang dia lakukan.
- Dan banyak lagi.
Dan yang lebih jahat lagi, ketika seorang pemimpin terpilih, kau justru asyik memperoloknya daripada membantunya bekerja...
Begitu pula sekolah, Burlian, Pukat. Sama seperti menanam pohon… Pohon masa depan kalian. Semakin banyak ditanam, semakin baik dipelihara, maka pohonnya akan semakin tinggi menjulang. Dia akan menentukan hasil apa yang akan kalian petik di masa depan, menentukan seberapa baik kalian akan menghadapi kehidupan.
Kau tahu, Burlian? Dialah yang mengalahkan raja-raja hebat dunia. Menggerus gunung menjadi rata. Membuat daratan menjadi lautan. Dialah sang waktu.
Dunia ini tidak hitam-putih, Burlian. Lebih banyak abu-abunya. Jarang ada orang yang hatinya hitam sekali, dan sebaliknya juga susah mencari orang yang hatinya sempurna putih.
Jangan pernah membeci Mamak kau, Burlian… jangan pernah… karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kau, Amelia, Kak Pukat, dan Ayuk Eli, maka yang kau tahu itu sejatinyabahkan belum sepersepuluh dari perngorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.
Tidak ada demokrasi untuk orang-orang bodoh.
Kau tau kenapa seorang pemimpin yang adil doanya makbul berkali-kali lipat? Karena seorang pemimpin memegang baik-buruk nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Untuk yang 'haus' dengan novel tema keluarga, dan penuh pesan moral tanpa perlu menggurui, novel ini jawabannya.
![]() | |||||||
Cover 2014 |
![]() | |
Cover lama |
Comments
Post a Comment